
Deteksi Dini di Tingkat Komunitas: Pelaksanaan Surveilans Berbasis Masyarakat di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah
Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM) merupakan strategi penting dalam memperkuat sistem deteksi dini dan respons cepat terhadap ancaman kesehatan di tingkat komunitas. Melalui pelibatan aktif masyarakat dalam proses identifikasi gejala, pelaporan, sampai dengan tindak lanjut oleh petugas puskesmas. Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dipilih sebagai wilayah prioritas dalam pelaksanaan SBM karena karakteristik geografis, kepadatan penduduk, serta tingginya potensi risiko penularan penyakit. Selain itu, ketiga provinsi ini telah menjalankan tahap awal implementasi SBM pada tahun 2024, sehingga diperlukan upaya pembinaan lebih lanjut guna memastikan pelaksanaan yang sesuai standar dan berorientasi pada hasil.
Supervisi menjadi bagian krusial dalam penguatan kapasitas dan evaluasi berkelanjutan. Kegiatan supervisi dilakukan untuk melihat gambaran secara langsung pelaksanaanya, mengidentifikasi kendala yang dihadapi di lapangan, serta memberikan umpan balik langsung pelaksana di tingkat puskesmas. Data dan informasi dikumpulan melalui kunjungan lapangan serta wawancara terbuka dengan tiga dinas kesehatan kabupaten/kota dan tiga puskesmas dari Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Bulan Mei 2025 yang didampingi oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Konsultan Nasional SBM dan Internasional SBM.
Pelaksanaan Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM) pada tiga provinsi menunjukkan bahwa keterlibatan aktif masyarakat termasuk kader kesehatan dan dukungan kebijakan, teknis, lintas program dan lintas sektor menjadi kekuatan utama (strength) dalam meningkatkan deteksi dini di tingkat komunitas. Kinerja dengan alert dan pelaporan EBS SKDR dengan sumber infomasi SBM serta dukungan yang kuat dari Direkrorat Surveilans dan Karantina Kesehatan dan Global Fund turut memperkuat pelaksanaan SBM.
Namun demikian, terdapat sejumlah kelemahan (weakness), seperti lemahnya sistem umpan balik dari puskesmas karena keterbatasan petugas dan beban kerja yang tinggi serta pelaporan data yang tidak konsisten atau tertunda dari bidan desa/kader dan dokter swasta. Dari sisi peluang (opportunities), integrasi dengan layanan kesehatan lainnya seperti vaksinasi, posyandu siklus hidup,promosi kesehatan serta keterlibatan lintas sektor membuka ruang untuk penguatan SBM yang lebih berkelanjutan dan adaptif. Sementara itu, ancaman (threats) yang dihadapi antara lain keterbatasan pendanaan dan risiko penurunan partisipasi masyarakat jika tidak disertai pembinaan dan motivasi berkelanjutan.
Supervisi ini memberikan masukan penting bagi penguatan SBM, terutama dalam hal peningkatan kapasitas kader, perbaikan alur pelaporan dan umpan balik, serta penguatan peran pemerintah daerah dalam mendukung keberlanjutan program. Diperlukan tindak lanjut berupa penyusunan strategi komunikasi, dan penguatan dukungan lintas sektor agar SBM dapat berfungsi optimal sebagai sistem deteksi dini berbasis komunitas.
Serangkaian kegiatan SBM melaui advokasi, training petugas, pelatihan kader sampai dengan supervisi di 27 kabupaten/kota dan 78 puskesmas pada 3 provinsi sudah dilaksanakan, diperlukan perluasan dalam upaya pengembangan pelaksanaan SBM. Pertemuan Workshop Penguatan Kader/Masyarakat dalam Kewaspadaan Dini Penyakit Potensial KLB/Wabah untuk Petugas Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas dengan melibatkan 18 Kabupaten/Kota serta puskesmas terpilih di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah yang dilaksanakan pada bulan Juni-Juli tahun 2025 merupakan bagian dari upaya tersebut.
Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas surveilans provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas dalam upaya pelibatan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan SBM. Workshop ini menghadirkan materi yang mencakup prinsip dasar, mekanisme pelaporan, potensi dana desa, praktik baik dari pelaksana SBM sampai dengan keterampilan komunikasi efektif. Narasumber yang terlibat berasal dari Kemenko PMK, Kemeterian Pertanian, Kemendes PDTT, Kemenkes, PMI Indonesia, Puskesmas Sukagalih, Konsultan Nasional SBM dan Risk Communication and Community Engagement. Selain itu peserta melakukan diskusi kelompok dalam merefelsikan alur pelaporan sinyal, identifikasi jejaring, jaringan, hambatan serta inovasi dalam pelaksanaannya.
Sebagai rencana tindak lanjut dari workshop tersebut, yaitu dengan pelatihan kader yang didukung oleh pembiayaan dana hibah C19RM dibawah Global Fund Komponen Malaria serta pelaksanannya dinaungi oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. Setiap kabupaten/kota diharapkan dapat mengirimkan 5 kader atau relawan. Kegiatan pelatihan ini direncanakan berlangsung secara 2 batch di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah serta ditargetkan selesai paling lambat tanggal 30 Oktober 2025. Diharapkan melalui pelatihan ini, kapasitas kader di lapangan dapat meningkat dan pelaksanaan SBM menjadi lebih efektif, partisipatif, dan berkelanjutan.